Charlotte Mason memang bukan guru biasa.
Ketika para edukasionalis di zamannya menganggap anak seperti ember kosong, yang baru berisi jika dituangi pengetahuan oleh guru, atau ranting pohon yang bisa dibengkak-bengkokkan ke arah mana pun guru mau, atau lilin plastis yang bisa dibentuk sesuka hati para pendidiknya, Charlotte meyakini anak-anak adalah jiwa dengan kedalaman dan kekayaan spiritual tak terbatas, ibarat obor yang sudah penuh minyak, hanya menunggu pantikan api kecil untuk bisa menyala berkobar-kobar.
Ketika para edukasionalis di zamannya menganggap anak seperti ember kosong, yang baru berisi jika dituangi pengetahuan oleh guru, atau ranting pohon yang bisa dibengkak-bengkokkan ke arah mana pun guru mau, atau lilin plastis yang bisa dibentuk sesuka hati para pendidiknya, Charlotte meyakini anak-anak adalah jiwa dengan kedalaman dan kekayaan spiritual tak terbatas, ibarat obor yang sudah penuh minyak, hanya menunggu pantikan api kecil untuk bisa menyala berkobar-kobar.
Ketika para filsuf di negerinya berasumsi bahwa jiwa manusia itu tabula rasa, anak-anak ibarat lembaran putih polos yang menunggu untuk ditulisi, Charlotte berkata bahwa sejak semula anak adalah pribadi yang utuh, terlahir lengkap dengan berbagai hasrat, emosi, hati nurani, dan bakat. Pribadi itu akan terus menyingkapkan diri, sampai terungkap sepenuhnya, seturut pertambahan usianya. Orangtua dan guru hanya membantu agar pribadi itu mekar dalam segala kekuatan latennya, mengatasi kelemahan-kelemahan bawaannya.
Ketika masyarakat di eranya menganggap bahwa anak-anak keluarga miskin ditakdirkan menjadi orang berintelek rendah, percuma dididik karena kelak tetap akan menjadi ‘keset sosial’ dan warga tak beradab; bahwa anak-anak perempuan cukup belajar di rumah saja sebab toh mereka hanya akan menjadi istri dan pengurus rumah tangga, Charlotte menyuarakan pendidikan liberal bagi setiap anak tanpa membedakan ras, strata sosial, ataupun gender. Ia yakin setiap anak terlahir setara, oleh karena itu berhak, dan mampu, mengenyam kesempatan pendidikan yang setara. Namun untuk menjalani metode pendidikan yang “memuaskan anak-anak tercerdas dan menyingkap inteligensi anak-anak terlamban” Seorang guru pertama-tama harus yakin bahwa potensi kecerdasan itu memang tersimpan dalam diri semua anak.
Ketika para orangtua kebanyakan memandang anak sebagai ‘harta milik’ pribadi mereka, dan berpikir bahwa tugas mendidik anak cukup dipasrahkan kepada pengasuh, guru privat, dan lembaga sekolah, Charlotte menegaskan bahwa orangtua tidak boleh dengan seenaknya berkata, “Ini kan anakku! Aku bebas mendidiknya dengan cara apa saja!”. Anak-anak adalah kekayaan yang dititipkan Tuhan dan umat manusia kepada orangtua. Ibu dan ayah bertanggung jawab lebih dari siapa pun di bumi ini untuk memastikan bahwa anak-anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Dan pendidikan di sekolah bukanlah yang terutama. Sesungguhnya, kata Charlotte, pendidikan di rumah jauh lebih penting ketimbang pendidikan di sekolah, sebab pengaruh yang anak terima di rumah membekaskan kesan mendalam yang akan menentukan karakter dan karirnya kelak. ”Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.”
Ketika para religius meyakinkan orangtua untuk mengandalkan agama dalam membangun karakter dan moral anak-anak mereka, Charlotte dengan berterus terang berkata bahwa tidak cukup membesarkan anak hanya dengan berharap dan berdoa. Agama memang sangat penting dalam memberi inspirasi dan batasan moral, tetapi ada hukum-hukum Tuhan yang berlaku secara universal dalam mengasuh anak. Hukum-hukum fisiologis dan psikologis, seperti bagaimana otak bekerja atau bagaimana proses kejiwaan anak berlangsung, bukan milik eksklusif salah satu agama saja. Tak ubahnya hukum gravitasi, orang yang taat beragama akan merasakan kerugian besar jika melanggar hukum-hukum itu dan, sebaliknya, orang yang sekuler bisa berhasil mendidik anak dengan baik jika menaatinya.
Charlotte Mason lahir di Inggris tahun 1842 dan menikmati pendidikan di rumah dari kedua orangtuanya, sebelum ia menjadi yatim piatu di usia enam belas tahun. Tetapi sebelum tahun yang menyedihkan itu, Charlotte muda sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di bidang pendidikan. Seorang perempuan progresif yang banyak berpikir, ia bekerja sambil merenung, membaca untuk menulis, menguji teori-teori di dalam praktek. Yang Charlotte cita-citakan adalah a working philosophy of education, filsafat pendidikan yang bukan cuma bagus dalam teori, tapi betul-betul bisa dipraktekkan dan betul-betul efektif menyingkapkan segenap potensi fisik, intelektual, mental, dan spiritual semua anak. Motto hidup Charlotte adalah: For the children’s sake, semua demi anak-anak.
Ketika masyarakat di eranya menganggap bahwa anak-anak keluarga miskin ditakdirkan menjadi orang berintelek rendah, percuma dididik karena kelak tetap akan menjadi ‘keset sosial’ dan warga tak beradab; bahwa anak-anak perempuan cukup belajar di rumah saja sebab toh mereka hanya akan menjadi istri dan pengurus rumah tangga, Charlotte menyuarakan pendidikan liberal bagi setiap anak tanpa membedakan ras, strata sosial, ataupun gender. Ia yakin setiap anak terlahir setara, oleh karena itu berhak, dan mampu, mengenyam kesempatan pendidikan yang setara. Namun untuk menjalani metode pendidikan yang “memuaskan anak-anak tercerdas dan menyingkap inteligensi anak-anak terlamban” Seorang guru pertama-tama harus yakin bahwa potensi kecerdasan itu memang tersimpan dalam diri semua anak.
Ketika para orangtua kebanyakan memandang anak sebagai ‘harta milik’ pribadi mereka, dan berpikir bahwa tugas mendidik anak cukup dipasrahkan kepada pengasuh, guru privat, dan lembaga sekolah, Charlotte menegaskan bahwa orangtua tidak boleh dengan seenaknya berkata, “Ini kan anakku! Aku bebas mendidiknya dengan cara apa saja!”. Anak-anak adalah kekayaan yang dititipkan Tuhan dan umat manusia kepada orangtua. Ibu dan ayah bertanggung jawab lebih dari siapa pun di bumi ini untuk memastikan bahwa anak-anak itu akan tumbuh menjadi pribadi yang membawa kebaikan bagi masyarakat. Dan pendidikan di sekolah bukanlah yang terutama. Sesungguhnya, kata Charlotte, pendidikan di rumah jauh lebih penting ketimbang pendidikan di sekolah, sebab pengaruh yang anak terima di rumah membekaskan kesan mendalam yang akan menentukan karakter dan karirnya kelak. ”Menjadi orangtua itu luar biasa: tidak ada promosi, kehormatan, yang bisa dibandingkan dengannya. Orangtua seorang anak bisa jadi membesarkan sosok yang kelak terbukti sebagai berkat bagi dunia.”
Ketika para religius meyakinkan orangtua untuk mengandalkan agama dalam membangun karakter dan moral anak-anak mereka, Charlotte dengan berterus terang berkata bahwa tidak cukup membesarkan anak hanya dengan berharap dan berdoa. Agama memang sangat penting dalam memberi inspirasi dan batasan moral, tetapi ada hukum-hukum Tuhan yang berlaku secara universal dalam mengasuh anak. Hukum-hukum fisiologis dan psikologis, seperti bagaimana otak bekerja atau bagaimana proses kejiwaan anak berlangsung, bukan milik eksklusif salah satu agama saja. Tak ubahnya hukum gravitasi, orang yang taat beragama akan merasakan kerugian besar jika melanggar hukum-hukum itu dan, sebaliknya, orang yang sekuler bisa berhasil mendidik anak dengan baik jika menaatinya.
Charlotte Mason lahir di Inggris tahun 1842 dan menikmati pendidikan di rumah dari kedua orangtuanya, sebelum ia menjadi yatim piatu di usia enam belas tahun. Tetapi sebelum tahun yang menyedihkan itu, Charlotte muda sudah membulatkan tekad untuk mengabdi di bidang pendidikan. Seorang perempuan progresif yang banyak berpikir, ia bekerja sambil merenung, membaca untuk menulis, menguji teori-teori di dalam praktek. Yang Charlotte cita-citakan adalah a working philosophy of education, filsafat pendidikan yang bukan cuma bagus dalam teori, tapi betul-betul bisa dipraktekkan dan betul-betul efektif menyingkapkan segenap potensi fisik, intelektual, mental, dan spiritual semua anak. Motto hidup Charlotte adalah: For the children’s sake, semua demi anak-anak.
Dalam lima belas tahun karirnya sebagai guru di sekolah dasar lalu dosen di kolese pendidikan guru, Charlotte telah menyusun konsep-konsep pendidikannya sendiri, yang kemudian ia terbitkan dalam enam volume: Home Education, Parents and Children, School Education, Ourselves, Formation of Character, dan Towards A Philosophy of Education. Sejak volume pertama terbit – Home Education menguraikan prinsip-prinsip dasar mengasuh dan mendidik anak sampai dengan usia sembilan tahun – pemikiran Charlotte sudah disambut baik oleh masyarakat dan pemerintah Inggris. Mereka ingin ide-ide Charlotte dipraktekkan lebih meluas di seluruh Inggris. Tak lama kemudian, para simpatisan itu bergerak membentuk Parents’ Educational Union (kemudian berubah nama menjadi Parents National Educational Union/PNEU) yang bermisi melaksanakan filsafat dan metode pendidikan Charlotte Mason.
Mencerminkan jiwa dari karya Charlotte, dalam anggaran dasar pendiriannya, disebutkan bahwa “Persatuan ini hadir demi [memberi manfaat kepada] para orangtua dan pendidik dari semua kelas [sosial].”
Tahun 1891, Charlotte pindah ke Ambleside untuk mendirikan House of Education, lembaga pendidikan-pelatihan bagi governess (guru privat) dan siapa saja yang berminat bekerja di sektor pendidikan. Satu tahun kemudian, PNEU juga mendirikan sekolah mereka sendiri di Ambleside sebagai wadah para trainee House of Education untuk mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari dari Charlotte Mason. Dengan gaya belajar yang ramah anak: jam belajar singkat, tanpa drill atau hafalan garing, mata pelajaran bervariasi, tidak ada PR, tidak ada sistem ranking, banyak kegiatan eksperimentatif (hands on) serta apresiasi seni dan budaya, jadwal teratur setiap siang sampai sore untuk menjelajah alam dan bermain bebas, ini adalah metode pendidikan yang jauh berbeda dari kebanyakan sekolah masa itu.
Mengingat banyaknya keluarga Inggris yang terlalu miskin untuk membayar governess atau berdomisili di daerah yang belum memiliki sekolah, Charlotte memprakarsai sistem pendidikan rumah dengan model korespondensi. Keluarga-keluarga ini bisa mendaftarkan anak-anak mereka untuk menjadi siswa jarak jauh. PNEU mengirimkan kurikulum, petunjuk proses belajar, dan buku-buku bacaan untuk anak pelajari bersama orangtua di rumah masing-masing. Kemudian di akhir term belajar, PNEU akan mengirimkan berkas evaluasi yang meminta anak menarasikan apa yang mereka pelajari selama term tersebut. Tidak ada nilai, tidak ada peringkat, semua narasi akan dibaca dan diberi catatan komentar, lalu anak bisa melanjutkan ke bahan pelajaran term berikutnya. Materi belajar adalah buku-buku terbaik dari para penulis dan sastrawan paling hebat yang bisa Charlotte temukan, diberikan sesuai tingkat usia para pelajarnya, yang selalu disegarkan dan dimutakhirkan dari term ke term.
Hasil dari sistem pendidikan jarak jauh yang ia susun mengejutkan bahkan Charlotte sendiri! Para siswa koresponden, yang meliputi anak-anak buruh tambang di daerah pelosok, menunjukkan kemampuan luar biasa untuk memusatkan perhatian, kecintaan pada proses belajar, ketajaman berpikir, kegembiraan membaca buku-buku ‘kelas tinggi’, dan pengetahuan yang luas akan berbagai hal. Mereka sanggup menarasikan kembali suatu bacaan hanya dengan sekali dibacakan, bahkan berbulan-bulan setelah bahan itu dibacakan.
Ternyata benar, tulis Charlotte, jiwa semua anak – apa pun ras, strata sosial, dan gendernya – selalu sedang menunggu untuk digugah. Dan sekali tergugah, mereka akan selamanya terbangun untuk mencintai pengetahuan dan kehidupan. Anak-anak yang seumur hidup mencintai proses belajar, yang belajar bukan demi imbalan pujian, gengsi, atau keuntungan material lainnya, melainkan terutama karena kegembiraan dalam belajar itu sendiri, yang tumbuh menjadi pribadi berwawasan luas penuh ide-ide akbar dengan karakter luhur yang berangkat dari tertanamnya kebiasaan-kebiasaan baik, tidakkah itu yang seharusnya dicita-citakan oleh sistem pendidikan? Visi itu hanya bisa digapai jika sistem pendidikan ditegakkan di atas asumsi-asumsi dan konsep-konsep yang benar, lalu dibangun dengan metode yang tepat. “Konsekuensi dari kebenaran itu terlalu besar, kita tidak boleh lalai menimbangnya,” berulang-ulang Charlotte mengingatkan tentang itu.
Dalam volume bukunya yang terakhir, Charlotte merangkum semua pemikiran yang telah ia rumuskan, uji, dan perbaiki selama 30 tahun PNEU berdiri. Dengan puas ia melaporkan hasil metode pendidikannya yang berhasil membangkitkan kecintaan belajar dalam diri puluhan ribu siswanya. Ia telah membuktikan bahwa anak-anak memang terlahir setara dalam hasrat mereka akan pengetahuan, tiada beda antara anak laki-laki dan perempuan, antara anak-anak kaya atau miskin, antara anak-anak cerdas atau ‘terbelakang’. Sekalipun ia juga sadar, teori-teorinya masih perlu diuji coba dalam skala yang lebih luas, ia merasa akhirnya ia berhasil merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang membumi, satu model pendidikan yang bisa memuliakan pikiran semua anak tanpa mengabaikan latihan jasmani maupun keterampilan praktis.
Tahun 1891, Charlotte pindah ke Ambleside untuk mendirikan House of Education, lembaga pendidikan-pelatihan bagi governess (guru privat) dan siapa saja yang berminat bekerja di sektor pendidikan. Satu tahun kemudian, PNEU juga mendirikan sekolah mereka sendiri di Ambleside sebagai wadah para trainee House of Education untuk mempraktekkan apa yang telah mereka pelajari dari Charlotte Mason. Dengan gaya belajar yang ramah anak: jam belajar singkat, tanpa drill atau hafalan garing, mata pelajaran bervariasi, tidak ada PR, tidak ada sistem ranking, banyak kegiatan eksperimentatif (hands on) serta apresiasi seni dan budaya, jadwal teratur setiap siang sampai sore untuk menjelajah alam dan bermain bebas, ini adalah metode pendidikan yang jauh berbeda dari kebanyakan sekolah masa itu.
Mengingat banyaknya keluarga Inggris yang terlalu miskin untuk membayar governess atau berdomisili di daerah yang belum memiliki sekolah, Charlotte memprakarsai sistem pendidikan rumah dengan model korespondensi. Keluarga-keluarga ini bisa mendaftarkan anak-anak mereka untuk menjadi siswa jarak jauh. PNEU mengirimkan kurikulum, petunjuk proses belajar, dan buku-buku bacaan untuk anak pelajari bersama orangtua di rumah masing-masing. Kemudian di akhir term belajar, PNEU akan mengirimkan berkas evaluasi yang meminta anak menarasikan apa yang mereka pelajari selama term tersebut. Tidak ada nilai, tidak ada peringkat, semua narasi akan dibaca dan diberi catatan komentar, lalu anak bisa melanjutkan ke bahan pelajaran term berikutnya. Materi belajar adalah buku-buku terbaik dari para penulis dan sastrawan paling hebat yang bisa Charlotte temukan, diberikan sesuai tingkat usia para pelajarnya, yang selalu disegarkan dan dimutakhirkan dari term ke term.
Hasil dari sistem pendidikan jarak jauh yang ia susun mengejutkan bahkan Charlotte sendiri! Para siswa koresponden, yang meliputi anak-anak buruh tambang di daerah pelosok, menunjukkan kemampuan luar biasa untuk memusatkan perhatian, kecintaan pada proses belajar, ketajaman berpikir, kegembiraan membaca buku-buku ‘kelas tinggi’, dan pengetahuan yang luas akan berbagai hal. Mereka sanggup menarasikan kembali suatu bacaan hanya dengan sekali dibacakan, bahkan berbulan-bulan setelah bahan itu dibacakan.
Ternyata benar, tulis Charlotte, jiwa semua anak – apa pun ras, strata sosial, dan gendernya – selalu sedang menunggu untuk digugah. Dan sekali tergugah, mereka akan selamanya terbangun untuk mencintai pengetahuan dan kehidupan. Anak-anak yang seumur hidup mencintai proses belajar, yang belajar bukan demi imbalan pujian, gengsi, atau keuntungan material lainnya, melainkan terutama karena kegembiraan dalam belajar itu sendiri, yang tumbuh menjadi pribadi berwawasan luas penuh ide-ide akbar dengan karakter luhur yang berangkat dari tertanamnya kebiasaan-kebiasaan baik, tidakkah itu yang seharusnya dicita-citakan oleh sistem pendidikan? Visi itu hanya bisa digapai jika sistem pendidikan ditegakkan di atas asumsi-asumsi dan konsep-konsep yang benar, lalu dibangun dengan metode yang tepat. “Konsekuensi dari kebenaran itu terlalu besar, kita tidak boleh lalai menimbangnya,” berulang-ulang Charlotte mengingatkan tentang itu.
Dalam volume bukunya yang terakhir, Charlotte merangkum semua pemikiran yang telah ia rumuskan, uji, dan perbaiki selama 30 tahun PNEU berdiri. Dengan puas ia melaporkan hasil metode pendidikannya yang berhasil membangkitkan kecintaan belajar dalam diri puluhan ribu siswanya. Ia telah membuktikan bahwa anak-anak memang terlahir setara dalam hasrat mereka akan pengetahuan, tiada beda antara anak laki-laki dan perempuan, antara anak-anak kaya atau miskin, antara anak-anak cerdas atau ‘terbelakang’. Sekalipun ia juga sadar, teori-teorinya masih perlu diuji coba dalam skala yang lebih luas, ia merasa akhirnya ia berhasil merumuskan sebuah filsafat pendidikan yang membumi, satu model pendidikan yang bisa memuliakan pikiran semua anak tanpa mengabaikan latihan jasmani maupun keterampilan praktis.
Charlotte Mason meninggal dalam tidurnya pada usia 81 tahun, dalam kondisi ingatan yang masih jernih, kemampuan berpikir yang masih tajam, dan hati yang tak pernah berhenti menawarkan kebijaksanaan dan kasih sayang. Ia sangat dicintai dan kepergiannya adalah kehilangan besar bagi banyak orang. Sebuah buku, In Memoriam of Charlotte M. Mason, dipersembahkan oleh para kolega dan muridnya untuk mengenang sesosok pribadi yang mengesankan ini. “Anak-anak dari banyak generasi akan berterima kasih kepada Tuhan untuk Charlotte Mason dan semua karyanya,” tulis salah satu dari mereka.
No comments:
Post a Comment