'/>

Wednesday, March 2, 2011

Guru Mendidik Anak Menjadi Koruptor

Jika anda menghampiri sekumpulan orang dan bertanya di bidang apa Indonesia dikenal dunia, mungkin akan banyak yang menyatakan: korupsi. Berbeda dengan beberapa dekade lalu di mana orang akan cepat menyatakan bulutangkis tiredatau penduduknya yang ramah atau Bali yang eksotis. Tak heran kemudian kita mengenal KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) yang malah kadang tidak ditempatkan pada porsi sebenarnya. Misalnya, saat Habibie menjadi presiden, banyak suara berkeberatan putra beliau menjabat kepala BPPN karena dianggap nepotisme. Padahal secara struktural maupun skill, putra beliau layak menduduki jabatan itu. Puluhan tahun di era kepemimpinan Soeharto, negara asing menjuluki the first lady Indonesia sebagai Mrs. Ten Percent. Ironis sekali, padahal sang presiden adalah tokoh yang cukup disegani kawan maupun lawan di panggung politik luar negeri. Kasarnya, korupsi adalah tindakan lazim dilakukan anak negeri ini. Pembentukan KPK (Komite Pemberantasan Korupsi) yang sampai saat ini terus menyeret korban-korban baru, adalah bukti kekuatiran anak bangsa atas mengguritanya korupsi di negeri ini.
Bukan karena secara garis keturunan tidak memiliki kerabat untuk diajak kolusi, saya memilih bersikap anti pati terhadap KKN, terutama korupsi. 
Menciptakan Koruptor
Sebagai pendidik yang terjun langsung menghadapi generasi muda, guru ikut berperan andil dalam menciptakan koruptor. Mungkin banyak yang berpikir pernyataan ini tidak adil, seolah guru adalah koruptor nomor wahid. Tapi jangan salah, ada banyak murid yang lebih ‘mendengar’ kata-kata gurunya dibandingkan kata-kata orang tuanya, terutama bagi anak-anak SD. Meski kadang bisa saja yang diajarkan guru adalah tindakan salah, meski misalnya, secara tak sengaja. Memang tidak 24 jam guru bersama siswanya atau akan menjaga mereka sehari penuh, namun guru merupakan salah satu sosok penting yang layak diminta pertanggungjawabannya atas makin banyaknya jumlah koruptor dan makin canggihnya gaya korupsi anak bangsa.
Lihat saja carut-marut ujian nasional. Timbulnya istilah tim sukses UN, beredarnya kunci jawaban UN semalam sebelum ujian pelajaran tertentu dari nomor ponsel yang tak terdaftar, hingga pembentukan tim independent dari kalangan universitas dan kepolisian yang membuktikan ketidakpercayaan masyarakat pada guru dan sekolah sebagai penyelenggara UN. Semua itu bukan cuma isu miring dunia pendidikan Indonesia, tapi sungguh fakta-fakta yang terjadi di lapangan selama berlangsungnya UN, paling tidak satu dekade terakhir. Belum lagi isu turut andilnya dinas terkait soal kebocoran kunci jawaban UN sehingga bisa dipublikasikan di koran lokal tepat pada hari H, meski total jawaban benar hanya berkisar 50-60 persen,
lenyapnya berkas UN dan tak pernah ada pengusutan tuntas, guru dan kepala sekolah yang berkongsi memberikan jawaban UN pada anak didiknya yang sedang ujian, atau tim dari Jakarta harus inspeksi ke daerah-daerah untuk memastikan tidak terjadi kecurangan dalam UN, dan sebagainya.
Apa sesungguhnya yang ditakutkan para pendidik itu? Ketakutan anak-anak mereka tidak lulus ujian? Takut terbukti bahwa guru hanya bisa menuntut kesejahteraan tapi tidak bisa mendidik seperti yang sering dituding banyak pihak? Rasa sayang berlebihan terhadap anak didik sehingga tidak tega mereka gagal dalam ujian meski mereka tidak cukup layak lulus saat itu? Atau karena tekanan dari pihak tertentu dari level lebih tinggi untuk mensukseskan UN agar daerah mereka mengungguli daerah lain, meski hanya di atas kertas?
Guru hanyalah sosok manusia, maka bisa benar, tapi mungkin saja berbuat salah. Manusiawi sekali. Namun melakukan kecurangan dalam UN atas dan demi alasan apa pun sama artinya melemparkan kotoran ke wajah sendiri. Sama artinya menanamkan kecurangan di hati anak-anak didiknya. Tak beda jika guru tersebut mengatakan: Nak, jika kau besar nanti, silakan menjadi koruptor yang tahu bagaimana caranya mengkorupsi uang rakyat tanpa meninggalkan jejak. Dan jangan lupa ajak teman, saudara, kakek, nenek, ibu, bapak, kakak, adik, om, tante dan sebarkan ke semua orang

No comments:

Post a Comment