Beruntung dan bersyukurlah kita yang memilih profesi sebagai guru. Dengan menjadi guru kita selalu menghadapi hal baru, menghadapi masalah baru selama proses pembelajaran. Sayangnya guru (seperti saya juga) belum bisa menangkap masalah serta solusinya untuk dijadikan tulisan. Andai guru seperti saya menuliskannya semuanya itu pasti akan menjadi catatan bermanfaat. Sekali lagi sayangnya belum! Sumber dan bahan untuk dijadikan tulisan seorang guru sangat banyak sekali. Tapi mengapa guru (seperti saya ini) tidak memanfaatkan kesempatan itu, apakah harus menunggu orang lain yang menuliskannya.
Berikut saya coba jawab invertarisir alasan mengapa selama ini saya dan mungkin juga guru lain belum/tidak pernah menulis, menuliskan apa yang dialami selama dan setelah proses mengajar dan belajar. Ini bukan hasil survei, tapi hanya rekaan saya sendiri.
Pertama, saya tidak bisa menuliskan apa yang saya alami selama di kelas, saya tidak pandai menulis, parahnya saya enggan untuk belajar bagaimana cara untuk bisa menulis, padahal saya tahu belajar menulis itu yah dengan menulis tidak cuma saya pikirkan.
Kedua, saya tidak pintar, mengajar pun asal-asalan, masak sih gaya mengajar asal-asalan mau saya tulis juga, malu-lah membuka aib sendiri. Saya tidak tahu bagaimana jadi guru yang benar, pokoknya saya masuk kelas dan mengajar sejadi-jadinya, sekali lagi apakah yang seperti itu patut ditulis? .
Ketiga, saya bukanlah orang yang memiliki keperdulian terhadap apa yang saya alami, termasuk yang dialami siswa, jadi saya tidak punya modal.
Keempat, pikiran saya terlalu sibuk untuk memikirkan tanggung jawab saya sebagai ibu rumah tangga (kalau guru wanita). Setelah ngajar saya kepikiran nanti keluarga saya makan apa di rumah belum lagi menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang jadi tanggung jawab saya, dan seterusnya.
Kelima, dengan beban mengajar minimal 24 jam, ini berarti rata-rata saya mengajar 4 jam tiap hari dan setelah itu harus menyiapkan bahan ulangan dan mengoreksinya serta membuat analisisnya (apa iya?). Jadi mana sempat saya untuk menuliskannya.
Keenam, tiap hari saya harus menjemput anak saya yang masih TK kemudian setelah itu kembali ke sekolah, terus jemput anak yang lainnya lagi. Capek kan kalau mau menulis, tidak sempat.
Ketujuh, ngapaian saya repot menulis, toh yang lainnya tidak menulis aman-aman saja jadi guru. Naik pangkat tanpa menulis pun bisa kok. Cukuplah golongan IV-a sajalah kalau harus dipersyaratkan bikin karya tulis untuk naik pangkat selanjutnya. Dengan begitu selanjutnya gak ada kok kewajiban menulis.
Kedelapan, selama mengajar itu saya sendiri sesungguhnya tidak paham apa yang saya ajarkan, apalagi siswa saya menurut saja dan saya beri nilai baik mereka sudah senang. Di sekolah saya tidak pernah ada supervisi, kalaupun supervisi paling hanya basa-basi.
Kesembilan, sudahlah pokoknya jadi guru sekarang sudah enak, saya tidak bisa apa-apa saja dapat penghasilan 2 kali lipat dari gaji. Jadi tidak perlu sibuk-sibuk menulis segala. Mending menyangkul di belakang rumah hasilnya nyata bandingkan dengan menulis hanya begitu-begitu saja.
Kesepuluh, saya tidak tahu apa yang bisa saya tulis, dan layak untuk dibaca orang lain, salah-salah dicerca orang, saya kan malu masak guru tulisannya cuma begitu. Jadi lebih baik saya tidak menulis, aman. Buat saya menulis itu adalah pekerjaan sakral yang tidak boleh salah dan harus bagus. Karena sakral maka tidak boleh sembarangan. Kalau tidak bagus lebih baik tidak menulis.
Kesebelas, saya tidak pernah mengikuti perkembangan keilmuan untuk pelajaran yang saya ajarkan, yang saya tahu hanyalah buku pelajaran dan lks untuk mengajar, sudah itu saja. Jadi bagian mana yang menarik untuk dituliskan.
Keduabelas, dulu pelajaran bahasa Indonesia saja saya tidak bisa, tapi lulus bahkan sampai saya jadi guru. Ada sih pelajaran mengarang, tapi aturannya itu banyak banget, sudah begitu harus tidak boleh salah tulis, harus sesuai EYD, akhirnya ya seperti sekarang ini, saya tidak bisa menulis.
Ketigabelas, memang kalau sudah menulis bisa jadi duit, bisa terkenal, bisa kaya?! Enggak khan?!
Keempatbelas, menulis itu bukan bakat saya jadi itu akan sulit buat saya. Kalau semua orang menulis dari dulu sudah penuh isi perpustakaan dengan tulisan-tulisan guru. Kalau semua menulis siapa yang mau baca. Jadi saya tidak menulis itu juga memberikan kesempatan orang yang mau menulis. Untunglah saya tidak juga jadi penilis kalau saya nulis jangan-jangan tidak laku tulisan org itu. Hahaha.
Kelimabelas, kalaupun saya menulis tidak juga bisa mengubah keadaan pendidikan di negeri ini. Menulis tidak juga bikin pintar murid saya. Menulis juga tidak sekonyong-konyong bisa diakui untuk bisa dihargai sebagai kredit point kenaikan pangkat. saya bisa bayar untuk kredit poin untuk kenaikan pangkat. Semua apa yang tidak bisa dibayar di negeri ini.
Keenambelas, saya dulu biasa sih menulis, tapi di buku saja seperti buku harian (apalagi saat sedang pacaran dulu). Tetapi akhirnya jenuh juga, selanjutnya saya tidak lagi menulis, malas. Akhir-akhir ini saya banyak baca blog guru, tulisannya biasa saja, kalau begitu tok saya juga bisa. Tapi saya tidak bisa bikin blog, saya mau belajar tapi saya awam dengan komputer. Gimana yah? Pingin seperti temen-temen guru yang sudah punya blog, bisa menulis sesuka dia begitu.
Ketujuhbelas, memang pekerjaan guru hanya menulis? Wong saya tanpa menulis saja pekerjaan mengajar saya keteteran. Apalagi di rumah, pekerjaan banyak menanti. Jadi kapan-kapan saja deh menulisnya. Toh tidak menulis juga tidak berdosa.
Ok demikian beberapa alasan yang sempat terlintas di pikiran, silahkan tambahkan alasan lain yang belum tertulis. Semoga kita mendapatkan pencerahan, mendapatkan petunjuk, mendapatkan hidayah untuk menjawab alasan-alasan tersebut kemudian berpindah (hijrah) untuk mau menulis.
Wassalam.