Jenis pendidikan itu hanya satu, yaitu upaya mengembangkan potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Namun, beragamnya kondisi dan situasi yang melingkari kehidupan peserta didik “memaksa” kita untuk memberikan pelayanan yang beragam. Tujuannya tetap satu, yaitu “memanusiakan manusia” (meminjam istilah Dick Hartoko). Dalam konteks ini semua pendidikan adalah “formal”, tidak ada istilah “non formal” dan “informal”. Ini berlaku bila kata “formal” dimaknai sebagai sesuatu kegiatan yang terencana dan terkontrol. Pendidikan, di manapun dilakukan, di rumah, di sekolah, atau di tempat lainnya merupakan upaya yang terprogram. Ada tujuan yang akan dicapai, ada materi yang disampaikan, ada proses belajar, ada evaluasi, dan tindak lanjut.
Pendidikan yang diselenggarakan di rumah (biasa disebut informal) dan di masyarakat (non formal) lebih menekankan kepada pendidikan nilai-nilai (value education), namun dalam nomenklatur pendidikan itu disebut “non akademik”, sementara di sekolah dengan segala “sekat-sekat” dalam bentuk ruang dan waktu lebih menekankan kepada “akademik”. Inilah yang menjadi acuan oleh masyarakat mengapa pendidikan formal menjadi lebih bergengsi.
Belakangan ini bermunculan berbagai bentuk pendidikan alternatif seperti sekolah rumah atau kursus-kursus, serta program pendidikan luar sekolah lainnya. Sebagian besar masyarakat menyangsikan mutunya. Mungkinkah pendidikan informal dan non formal lebih “bermutu” dari formal., selama ini masyarakat memandang tidak mungkin! Bahkan para pendidikpun tidak sedikit yang sinis memandangnya. “percuma kita susah payah mengelola sekolah, sementara sebagian orang dapat dengan mudah memperoleh ijazah dan diakui setara”. Ungkapan ini sering muncul pada forum-forum resmi yang melibatkan para penyelenggara pendidikan.
Sepertinya sejarah berulang, pada tahap awal perkembangan peradaban manusia, pendidikan dilakukan oleh orang tua dan anggota masyarakat, ada yang di gua, di laut, di ladang, dan di pasar. Pendidikan seperti ini menghasilkan generasi yang tangguh, pemburu yang ulung, pelaut yang gagah, pedagang yang ulet, dan petani yang makmur. Dan itu semua sempat mengharumkan nama bangsa ini. Suku Bugis terkenal sebagai pelaut, Jawa terkenal sebagai petani yang makmur, Minang terkenal sebagai pedagang dan sebagainya.
Lalu, apa yang harus kita perbuat?, membangun sekolah yang mewah atau kembali ke masyarakat? Tentunta kita ingin anak-anak kita mampu menjawab persoalan kehidupan, bukan sekedar menjawab soal-soal ujian!.
No comments:
Post a Comment