Ubah Hidup Lewat Buku
ALKISAH, anak itu berlari-lari pulang ke rumahnya.
Tangannya yang mungil memegang sepucuk surat dari guru
sekolahnya. Di ambang pintu rumah ia berteriak "Mama...
mama, ada surat dari bapak guru." Ibunya, Nancy Elliot,
mantan guru, menyambut anak bungsu dari tujuh bersaudara
ini dengan ciuman dan pelukan penuh kasih sayang.
"Coba mama lihat," ujarnya sambil membuka amplop surat.
Tangannya gemetar saat matanya menyusuri kata demi kata.
"Anak ini terlalu bodoh untuk dididik. Kami
mengembalikannya kepada anda. Mulai besok tidak perlu
datang ke sekolah lagi."
"Ma, mengapa menangis?" tanya si anak, lugu. Dengan
cucuran air mata sang ibu meraih tubuh mungil itu,
memeluknya sambil berkata, "Thomas, I educated you my
self. (Thomas, ibu akan mendidikmu sendiri). Waktu itu si
anak berusia 7 tahun, dan baru 3 bulan mengecap pendidikan
formal di sekolah. Dan sejak itu, ia tidak pernah masuk
sekolah lagi.
Ibunya mengajari membaca. Dengan penuh kesabaran, akhirnya
Thomas bisa membaca. Bahkan ia menjadi seorang kutu buku.
Ketika usia 12 tahun, Thomas menjadi penjual kue, permen,
kacang, dan koran di kereta api. Ia pernah ditampar
kondektur, sehingga pendengarannya rusak. Walaupun ia
sibuk berjualan dan pendengarannya rusak, ia tak pernah
meninggalkan kegemarannya, membaca buku!
**
SUNGGUH sulit dibayangkan bahwa anak yang "terlalu bodoh,"
drop out dari sekolah dasar, dan sempat menjadi pedagang
asongan itu kemudian mencantumkan namanya dalam deretan
ilmuwan paling terkemuka di muka bumi. Tidak kurang dari
tiga ribu penemuan yang dicatat atas namanya.
Dialah Thomas Alva Edison. Apa yang membuat Edison menjadi
cerdas? Salah satu yang membuatnya cerdas dan berhasil
melakukan berbagai penemuan, tiada lain adalah
kegemarannya membaca buku. Luar biasa, manfaat dari
membaca buku. Dengan membaca buku mampu mengubah kehidupan
seseorang.
Pantas jika akhir-akhir ini, ada hasil penelitian yang
menyatakan bahwa dengan membaca buku seseorang akan
terhindar dari penyakit demensia atau pikun. Demensia
merupakan penyakit yang merusak jaringan otak. Seseorang
yang terkena demensia dipastikan akan mengalami kepikunan
atau dalam bahasa remajanya disebut tulalit. Dr. C. Edward
Coffey, seorang peneliti dari Henry Ford Health System,
telah membuktikannya.
Menurut penelitian Coffey, pendidikan (salah satu
pendidikan termurah adalah membaca buku) dapat menciptakan
semacam lapisan penyangga yang melindungi dan mengganti
rugi perubahan otak. Hal ini dibuktikan dengan meneliti
struktur otak 320 orang berusia 66 - 99 tahun yang tak
terkena demensia.
**
BETAPA pun besarnya manfaat dari membaca buku, jika
masyarakatnya kurang memiliki kesadaran tentang pentingnya
membaca buku, terciptanya suatu peradaban yang lebih baik
menjadi suatu keniscayaan. Disamping faktor lain yang
menjadi penyebab kurangnya minat baca, di antaranya budaya
menonton lebih mendominasi dari pada budaya baca, mahalnya
harga kertas yang berimbas harga-harga buku menjadi mahal,
dan kurangnya sosialisasi dari pemerintah tentang
pentingnya membaca buku.
Berdasarkan hasil survei lembaga internasional yang
bergerak dalam bidang pendidikan, United Nation Education
Society and Cultural Organization (UNESCO), minat baca
penduduk Indonesia jauh di bawah negara-negara Asia.
Indonesia tampaknya harus banyak belajar dari
negara-negara maju yang memiliki tradisi membaca cukup
tinggi.
Jepang, Amerika, Jerman, dan negara maju lainnya yang
masyarakatnya punya tradisi membaca buku, begitu pesat
peradabannya. Masyarakat negara tersebut sudah menjadikan
buku sebagai sahabat yang menemani mereka kemana pun
mereka pergi, ketika antre membeli karcis, menunggu
kereta, di dalam bus, mereka manfaatkan waktu dengan
kegiatan produktif yakni membaca buku. Di Indonesia
kebiasaan ini belum tampak.
Menumbuhkan kebiasaan membaca harus dimulai dari keluarga.
Orang tua berperan penting dalam menumbuhkan kegemaran
membaca buku anak-anaknya. Untuk menjadikan anak memiliki
kegemaran membaca, memang tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Pepatah Inggris mengatakan we first make
our habits, then our habits make us. Sebuah watak akan
muncul, bila kita membentuk kebiasaan terlebih dahulu.
Artinya, bila orang tua ingin anaknya mempunyai kegemaran
membaca buku, maka membaca buku perlu dibiasakan sejak
kecil. Disamping perlunya keteladanan dari orang tua
sendiri.
Saat ini, biaya pendidikan kian membumbung. Hanya kalangan
tertentu saja yang dapat menikmati pendidikan formal
sampai jenjang perguruan tinggi. Bagi mereka yang belum
beruntung dari aspek ekonomi, sehingga tidak sempat
mengenyam pendidikan tinggi, mestinya tidak berkecil hati.
Membaca buku menjadi alternatif untuk bisa menjadi
terpelajar layaknya orang yang mengikuti pendidikan
formal.
Banyak tokoh dan cendikiawan tak sempat mengenyam
pendidikan formal sampai jenjang pergurunan tinggi tapi
mereka menggantinya dengan membaca buku. Orang-orang
berpengaruh di Indonesia pada masa lalu, ternyata
kehidupan nya tak bisa dilepaskan dari peran buku. Adam
Malik, misalnya, salah seorang yang perkembangan
intelektualnya dibesarkan oleh buku-buku yang dipinjamnya
dari perpustakaan keliling, tanpa harus mengikuti
pendidikan formal. Jadi, tidak ada alasan tidak bisa
menjadi orang terpelajar karena tidak bisa mengikuti
pendidikan formal.
Tentu akan lebih baik jika dapat menempuh pendidikan
formal yang cukup tinggi dan dibarengi dengan kegemaran
membaca buku. Kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan
formal sampai jenjang perguruan tinggi jika dibarengi
dengan kegemaran membaca buku tentu akan menghasilkan out
put yang berkualitas. Kelak out put tersebut dapat
dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat manusia.
Sayangnya, kini kita dihadapkan pada kenyataan yang sangat
memprihatinkan. Mahasiswa, yang secara formal merupakan
makhluk terpelajar, justru dihinggapi penyakit malas
membaca. Minat baca buku di kalangan mahasiswa, harus
diakui masih rendah. Mereka masih mengandalkan peran dosen
dalam menerima ilmu.
Minim sekali mahasiswa yang memiliki keinginan kuat untuk
memperdalam ilmunya dengan mencari dan membaca langsung
buku-buku sumbernya. Budayawan Emha Ainun Nadjib dalam
bukunya "Negeri yang Malam" (Tinta, 2002) buah tangan Agus
Ahmad Safei mengatakan, kutu-kutu lebih rajin membaca buku
dibanding mahasiswa, juga dosen-dosennya. Perpustakaan
bekerja amat santai, bahkan ada hari ketika perpustakaan
nganggur sama sekali. Mahasiswa hanya menjadi konsumen
komoditas eceran di pasar ilmu. Waktu ke pasar, mereka
cukup membawa kantung telinga, otaknya disimpan di dalam
almari besi.
Seiring dengan otonomi daerah, kurikulum Tingkat Satuan
Pendidkan (KTSP) menjadi harapan kesekian dalam
meningkatkan mutu pendidikan. Sekolah diberikan
keleluasaan dalam mengelola system pengajaran guna
menghasilkan out put berkualitas dan mampu bersaing dengan
sekolah lainnya. KTSP memberikan nilai lebih berupa
kecakapan hidup (life skill) agar para siswa dapat
bersaing secara kompetitif. KTSP akan berhasil bila minat
baca dan kemampuan berbahasa para siswa tinggi
Dalam Islam pun perintah membaca lebih dulu dari
perintah-perintah lainnya. Bahkan dari perintah salat
sekali pun. Surat Al-Alaq, berisi perintah membaca,
diturunkan Allah SWT lebih awal. Tentu, membaca tidak
hanya buku. Salah satu kunci sukses kemajuan suatu bangsa
adalah dengan membaca buku. "Baca buku, buka dunia.
***