Guru-guru tak mau repot, sekolah ingin maju dengan tanpa harus banyak berjuang. Caranya carilah siswa-siswa yang memiliki potensi hebat saja. Ibarat tanpa banyak sentuhan siswa itu sudah bisa berprestasi. Di mana letak kebanggaan seorang guru dan sebuah sekolah jika hanya tak banyak berjuang? Mereka belum ukur proses apa yang telah ia lakukan, ia hanya banggakan adalah keadaan akhir saja. Apa harus begitu yang namanya mendidik itu?
Keadaan sekolah seperti itu persis prinsipnya Roman Abramovich, beli pemain yang sudah jadi, tinggal dipoles sedikit, jadi juara Jadi ini sama artinya benar-benar tidak mau repot. Kalau dalam kancah persepakbolaan jelas sah-sah saja, karena club sepak bola juga mencari untung secara finansial. Kalau sekolah apa pantas, apa manusiawi?
Tapi hal itu masih mendingan, masih ada kepedulian walaupun pada hasil akhir, sebab masih ada sekolah dan guru-gurunya yang tidak peduli baik pada proses maupun hasil akhir. Mengenaskan! Itulah yang terjadi selama ini di banyak sekolah di negeri kita. Kita, guru, yang tidak begitu banyak bisa mengubah sistem namun ada dalam sistem tentu masih bisa mempertahankan idealisme. Caranya tetap konsisten untuk mengajar sebaik-baik-nya, dengan taat waktu dan tetap berusaha memberikan layanan terbaik kepada siswa. Meskipun demikian tuntutan hasil akhir sering menjadikan dilema dalam pelaksanaan proses.
Bagusnya mendidik itu harus berupa panggilan nurani bukan sekadar mengerjakan tugas. Meskipun ini sering hilang dari benak kebanyakan guru. Ini paradigama yang harus tertanam kuat pada seorang guru. Guru bertanggung jawab secara menyeluruh dan berkelanjutan. Jangan berpikir bahwa yang telah lulus itu berakhir pula tugas guru, bukankah ia bisa sebagai mitra dalam memajukan sekolah. Memang murid yang cerdas mempunyai beberapa kelebihan, ibarat barang, kita akan lebih mudah memolesnya untuk menjadikan lebih berharga. Namun itu tidak cukup sebab apalah artinya murid yang mempunyai potensi kecerdasan yang unggul sementara pengelolaan amburadul, dan tidak terencana. Benih padi yang unggul jika di tanam di sawah yang terbiar mana mungkin menghasilkan padi yang optimal?? Sudah saatnya kita memperbaiki pendidikan tidak hanya mengajukan kritik. Dimulai dari diri sendiri (kalau kita guru) karena semua kehidupan tidak akan pernah lepas dari hasil pendidikan. Indonesia bukannya kurang orang yang cerdas, tapi mereka tidak tahu untuk apa kecerdasan itu dan bagaimana mengelola kecerdasan itu.
Jika hanya memperhatikan keadaan awal dan akhir saja ini analog dalam sistem kimia, yang dikenal dengan sifat termodinamik, sedangkan kalau memperhatikan proses ini bersifat kinetik. Sistem pendidikan tidak boleh hanya mengambil satu sifat saja harus kedua-duanya. Meskipun demikian keberhasilan suatu sekolah atau seorang guru belum cukup hanya itu saja. Guru berhasil jika ia sudah mengantarkan siswa membuat perubahan pada diri siswa dengan penskalaan yang fair.
Misal saya buat skala 0-10, 10 hasil atau keadaan sempurna. Siswa dengan kemampuan pada skala 2 kemudian dilakukan proses pembelajaran oleh guru kemudian berubah hasil akhirnya 6, maka takarannya guru telah sukses membuat perubahan dengan rentang 4 (dari 2 menjadi 6). Sementara siswa dengan kemampuan pada skala 5 kemudian setelah mengalami proses menjadi 7 ini berarti guru hanya sanggup membuat perubahan sebanyak 2 skala saja (dari 5 menjadi 7). Mana yang menunjukkan derajat keberhasilan seorang guru? Silahkan pikirkan Saya di sini tidak bermaksud untuk mencampurbaurkan dengan standar-standar yang dibuat pemerintah. Sebab itu akan membuat ketidak-fair-an. Toh selama ini standar-standar yang dibuat belum terpenuhi tapi kok hasil akhirnya diminta distandarkan, sangat tidak adil.
Jika sekolah-sekolah yang dikatakan unggul hanya memroses siswa yang unggul pada keadaan awal yah itu tidak patut dibanggakan kalau pun hasilnya unggul, itu kalau kita lihat dari kaca mata keberhasilan proses. Demikian pula sekolah yang tidak unggul mengelola siswa tidak unggul namun bisa menghasilkan perubahan signifikan walaupun masih di bawah standar yang ditetapkan pemerintah ini menjadi sangat tidak fair kalau katakan tidak unggul. Aneh memang semua dibuat standar, padahal berangkatnya memang keadaannya tidak sama. Ibarat lomba lari start-nya beda tapi diminta finis-nya sama. Di mana letak kemanusiawian kita?
Ayo berani tidak rekan yang ada di sekolah dengan predikat favorit atau unggul itu menerima siswa dengan keadaan tidak unggul untuk diolah menjadi siswa yang unggul?
No comments:
Post a Comment